Rabu, 27 Mei 2009

Bokura no Lovin’s Life

~Loving Life Milik Kita~


    Bulan Februari sudah hampir berakhir dan ujian masuk ke universitas sudah bisa kulalui. Saat kupikirkan kembali, waktu yang tersisa untukku di sekolah ini mulai bisa kuhitung dengan jari. Hanya beberapa minggu ke depan hari kelulusan akan tiba, akan tetapi masih ada kegundahan dalam hatiku. Entah mengapa aku merasa seakan ada sesuatu yang akan hilang di hatiku.


    Aku berjalan melewati ruangan demi ruangan di sekolah ini. Kurasakan kesepian saat kulihat 3 tahun sudah berlalu dengan cepatnya. Melihat ruangan kelas 1-B yang menjadi kelasku, aku ingat pemandangan salju yang turun pertama kali di tahun itu. Pemandangan lapangan dalam yang menjadi putih dan embun yang tergambar di jendela, entah mengapa aku masih ingin mengalaminya. Selalu kuingat masa-masa di tahun pertamaku di lorong-lorong ini. Canda tawa teman-teman seangkatanku, kemesraan yang dialami oleh mereka yang memiliki pasangan, serta setiap kejadian yang seakan-akan masih terasa terjadi kemarin.


    Menapaki tangga yang menuju lantai 3, di belokan yang membagi tangga itu menjadi dua aku berhenti. Ingatanku mulai mengingat kembali sebuah kenangan saat aku pertama kali mengungkapkan perasaanku pada seorang gadis yang kusuka. Bukanlah sebuah ingatan yang membahagiakan karena saat itu perasaanku hanya bertepuk sebelah mata. Pengakuan cinta pertamaku mengakhiri masa - masa kelas 2-ku yang manis namun pahit.


    Melihat lorong-lorong di lantai 3, aku termenung sejenak. Lorong – lorong ini walaupun terlihat sangat sederhana, aku selalu yakin menyimpan banyak cerita. Entah sudah berapa banyak cerita yang terdapat di lorong-lorong ini. Kenangan orang - orang seperti diriku, yang memiliki kenangan - kenangan yang tidak bisa dilupakan walaupun bagaimanapun caranya. Aku tersenyum simpul memikirkan hal itu, namun begitu mataku lalu tertuju menuju taman tengah sekolah yang bisa kulihat dengan jelas dari jendela lorong lantai 3. Di taman itulah kenanganku yang paling berharga terdapat.


    Melewati pintu yang menembus ke taman tengah, aku berjalan menuju ke sebuah pohon Sakura yang berdiri di tengah taman. Pohon Sakura yang kadang menjadi tempat beristirahat di kala makan siang itu, pada bulan Februari masih belum menunjukkan sekuncup bunga pun yang mekar. Akan tetapi, dalam beberapa minggu ke depan, aku yakin bunga – bunga berwarna pink yang indah akan memenuhi pohon yang berdiri di hadapanku ini. Ingatanku akan pohon ini bermula tiga tahun lalu sebelum aku melangkah memasuki aula untuk acara penerimaan murid baru. Di saat itu, pohon yang sudah dipenuhi bunga Sakura seakan menandakan awal dari perjalanan kami semua yang masuk pada tahun itu. Apakah nantinya pada saat upacara kelulusan, dapat kulihat Sakura memenuhi pohon ini seperti saat itu?


    Berbagai kenangan diriku di sekolah ini ada di bawah pohon Sakura ini, bahkan kenangan terpenting dalam hidupku. Mungkin walaupun pohon ini sudah tidak ada, aku mungkin masih bisa mengingat kenangan terindah masa SMU-ku. Berawal tidak lama setelah tahun ketiga dimulai, pertemuan yang tidak terduga di bawah pohon ini, yang kemudian berlanjut dengan sebuah persahabatan, dan akhirnya di awal musim gugur yang lalu kutemukan sesuatu yang berharga dalam hidupku.


    Saat itu, tak ada satu pun daun di pohon Sakura favoritku. Udara dan angin lembut yang dingin bertiup seperti biasanya, namun udara yang kurasakan mengalir dalam tubuhku terasa begitu hangat dipenuhi oleh getaran. Bibirnya yang kecil dan berwarna merah menyampaikan perasaan yang sudah lama dipendam dalam hatinya padaku. Sungguh sangat tidak terduga hatiku merasa tidak pasti, walaupun dalam diriku aku pun sebenarnya menyimpan sekelumit perasaan yang sama. Akan tetapi dengan kelulusan yang semakin dekat dan ujian yang harus kuhadapi, aku kadang merasa bahwa menjalin hubungan hanyalah akan membuatnya sedih karena sedikitnya waktu yang bisa kami lalui bersama. Sehingga aku tidak pernah memberanikan diri untuk mengatakan perasaanku padanya. Akan tetapi, entah darimana datangnya, sebuah perasaan dan keberanian meluap dalam dadaku, dan akhirnya kuterima perasaannya saat itu…


    Sejak kami menjadi sebuah pasangan, aku menemukan sebuah warna baru dalam hidupku. Dengan segala kemampuanku aku selalu mencoba mencari waktu di mana aku bisa berdua bersamanya. Melewati waktu-waktu yang sedikit bagaikan melewati waktu 100 tahun. Setiap saatnya selalu kucoba untuk berusaha sebaik mungkin membuatnya bahagia, walaupun ada bagian dari diriku yang tahu bahwa kebahagiaan yang didapatnya tidak mungkin maksimal dengan kondisiku yang ada.


    Saat paling berkesan untuk kami berdua bagiku adalah pada saat kami melewati malam Natal bersama. Kencan Natal pertamaku berjalan sedikit berbeda dari yang kubayangkan. Akan tetapi, kami melewati sebuah malam Natal yang cukup indah menurutku. Berjalan bergandengan tangan melewati Christmas Illumination, menyanyi berdua di Karaoke box, dan memakan bersama Choco cake yang dibeli di toko roti depan stasiun. Walaupun tanpa salju seperti yang kuharapkan, aku sudah merasa puas dengan bersama dirinya di malam itu. Ingin sekali diriku melewatinya lebih lama lagi, namun kutahu bahwa itu adalah hal yang tidak mungkin. Dengan kuantarkan dirinya ke rumahnya, maka berakhirlah waktuku bersamanya malam itu. Akan tetapi hal yang tidak terduga menjadi kado Natal terbaik yang pernah kudapat. Sejenak sebelum diriku meninggalkan tempat itu, dirinya menarik tanganku dan dengan reaksi yang tiba – tiba ia mendekatkan dirinya padaku. Pada malam itu, akhirnya kami menutup malam Natal pertama kami dengan ciuman pertama kami.


    Pertemuan kami selanjutnya adalah pada saat lonceng tengah malam penanda awal tahun baru berbunyi. Berdua di tengah kerumunan orang-orang di kuil kami berusaha mencapai tempat di mana kami bisa memanjatkan doa, namun begitu menembus kerumunan orang – orang yang ada hampir saja membuatku kehilangan dirinya. Tanpa berpikir diriku memeluk erat dirinya melewati kerumunan orang-orang. Aku pada saat itu tidak peduli lagi jika kami bisa mencapai tempat berdoa atau tidak, dan hanya berpikir untuk tidak kehilangan dirinya. Pada akhirnya kami dapat mengucapkan permohonan kami dan memulai tahun baru itu dengan suatu awal yang baik.


    Dari seluruh pengalaman bahagia yang kulalui bersama dirinya, justru pengalaman sedihlah yang mengajarkan padaku tentang seberapa dalamnya perasaanku padanya. Berawal pada saat-saat ujian yang akan kulalui semakin dekat, aku menjadi bukan diriku yang biasanya. Berbagai tekanan dan pikiran yang mempengaruhi diriku sempat menjadikan ketegangan di antara kami berdua. Saat itu aku baru bisa mengetahui bahwa diriku tidaklah sekuat yang kuduga. Beberapa kali karena emosiku yang mudah meledak, tanpa sadar aku menyakiti dirinya dengan kata-kataku dan membuatnya menangis.


    Di ambang kehancuran mungkin kata – kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan kami saat itu. Saat menyadari betapa terlukanya dirinya saat itu, aku sangat menyesali akan apa yang kulakukan. Ingin sekali aku meminta maaf padanya saat itu, dan aku pun berlari mencarinya. Dalam hatiku waktu itu kusadari bahwa tanpa dirinya diriku bukanlah apa-apa. Senyumnyalah yang selama ini terus menyelamatkan jiwaku dan hanya dirinyalah yang dapat memberikan semangat untukku agar terus berjuang sampai akhir.


    Di tengah kegelapan malam dan hanya dengan ditemani lampu jalan menuju rumahnya itu kami bertemu. Diriku yang terengah-engah sangat terkejut saat melihatnya dirinya yang seakan juga sedang mencari diriku. Kami berpandangan sejenak dan lalu tanpa berkata apa-apa kami langsung memeluk satu sama lain. Airmata bahagia dan sedih yang bercampur aduk jatuh membasahi pipiku, dan begitu pula dirinya. Aku membuka pembicaraan di antara kami dengan meminta maaf padanya, dan dirinya langsung menerima permintaan maaf itu. Setelah mengantar kembali dirinya ke rumahnya, aku langsung pulang ke rumahku untuk melanjutkan pembelajaranku.


    Lalu, pada akhirnya berkat dukungannya aku bisa melalui ujianku, dan 2 minggu lalu kuterima kabar mengembirakan bahwa aku berhasil masuk universitas yang kuinginkan. Akan tetapi belakangan ini muncul kegundahan dalam diriku, karena setelah aku memulai masa kuliahku diriku tak akan bisa menemui dirinya dengan mudah…aku pun berpikir entah apa yang harus kulakukan…


    Udara bulan Februari yang masih dingin mulai menusuk kulitku. Kututup mulutku dengan mafura yang melingkar di leherku. Mafura pemberian darinya yang menjadi satu-satunya barang yang menjadi tanda mata dirinya. Pada malam Natal yang kami lalui, kudapatkan benda itu darinya sebagai balasan dari kalung yang kuberikan padanya. Sejak saat itu, kemanapun aku pergi dalam cuaca sedingin apapun, mafura ini selalu melingkar di leherku. Aku selalu merasa dengan menggunakan mafura ini aku merasa tidak pernah jauh darinya, bagaikan ia terus berada di sebelahku.


    “Hayami senpai!” sebuah suara yang lembut memanggilku dari jauh dengan tiba - tiba. Aku menoleh ke arah suara itu berasal dan kulihat dirinya berada di tepi halaman tengah sekolah ini. Ia melambai kepadaku, dan aku membalas lambaiannya. Ia lalu berjalan mendekat ke arahku.


    “Sedang apa senpai?” tanyanya padaku.


    “Tidak ada. Hanya mengenang saja…”jawabku. Kulihat sedikit kebingungan dalam dirinya, namun segera kuhapuskan hal itu dengan senyumku. “Mau pulang?”


    Saat kami tinggalkan gerbang depan sekolah, sekolah sudah cukup sepi. Sedikit sekali murid – murid yang masih tinggal di sekolah. Kulihat jam yang melingkar di tanganku dan kulihat waktu menunjukkan pukul 5 lebih sedikit. Kami berdua pulang bersama melewati jalan yang menuju ke stasiun. Konbini dan toko roti dekat sekolah, mungkin saat ini adalah terakhirnya aku akan mengunjungi dua tempat itu.


    “Mau roti? Mungkin bibi masih memiliki sesuatu?” ajakku padanya. Ia mengangguk dan kami pun masuk ke dalam toko roti. Bibi pemilik toko seperti biasa menyambut kami dengan senyum.


    “Ara? Tumben sesore ini kalian masih datang?” aku hanya tersenyum mendengar itu. Kembali membahas tentang kenangan, toko ini juga salah satu kenangan terpenting dalam hidupku. Di tempat inlah karena sebuah roti aku bertemu dengan Yoshimi. Kami hanya berpandangan ketika kami memegang bersamaan roti melon yang terakhir pada hari itu. Roti melon yang akhirnya kuberikan padanya itu membuat kami bisa berkenalan di lain waktu.


    “Bi, apakah masih ada roti melon?” tanyaku pada bibi penjaga toko karena kutahu Yoshimi pastinya ingin memakan roti melon.


    “Tidak apa-apa. Kalau tidak ada pun tidak apa-apa”


    Sebelum Yoshimi bisa banyak bicara sebuah keranjang penuh dengan roti yang masih hangat disodorkan ke depan kami berdua.


    “Kebetulan sekali. Ini ada kare-pan dan melon-pan yang baru jadi. Entah mengapa bibi ingin membuatkannya untuk kalian berdua, dan untunglah kalian berdua benar-benar datang” Saat bibi pemilik toko memperlihatkan roti yang masih hangat itu hati kami berdua pun langsung berubah ceria dalam sekejap.


    Roti kare special toko ini merupakan kare-pan ternikmat yang pernah kunikmati. Bukan hanya diriku saja, tapi banyak orang juga yang membelinya. Oleh karena itu, biasanya baik kare-pan maupun melon-pan toko ini selalu habis jika lewat siang.


    Bibi tua itu membungkus roti kami dan memberikannya pada kami. “Ini pemberian dariku, jadinya tidak usah membayarnya. Sebagai gantinya, teruslah rukun dan saling menyayangi ya?”


    Kami hanya bisa saling berpandangan, dan tersenyum. Bibi penjaga toko yang melihat hal itu tertawa dan berkata, “Jaga diri kalian baik – baik ya?”


    Kami berpamitan padanya dan meninggalkan toko itu. Di tengah jalan menuju stasiun, kami memakan roti kesukaan kami. Rasa hangat roti yang kami makan kami rasakan sehangat perasaan bibi pemilik toko yang menyayangi kami. Sungguh membuat hati kami tenang.


    Memasuki platform kereta dapat kurasakan udara yang dingin dan bau rel. Dirinya langsung duduk di bangku yang ada sedangkan aku membeli minuman hangat untukku dan dirinya dari mesin penjual minuman.


    “Silahkan” kuberikan padanya Honey Lemon hangat yang hanya dijual di musim dingin seperti ini. Ia memegang botol yang hangat itu erat-erat dan menempelkannya ke pipinya. Aku tersenyum melihat hal itu dan aku pun duduk disampingnya.


    “Senpai, sebentar lagi ya kelulusannya?” tanyanya padaku tiba-tiba.


    “Iya. Rasanya sedih juga…”


    “Karena perpisahan dengan semuanya?” tanyanya lagi padaku.


    “Iya. Terutama dengan dirimu” Jawabku yang cepat dan singkat seakan membuatnya terkejut. Aku hanya tidak ingin membuatnya berpikir bahwa dirinya bukanlah hal utama yang kupikirkan, karena pada sebenarnya setiap saat yang kulalui, dirinya selalu kupikirkan dengan berbagai kemungkinan akan masa depan kami melintas di pikiranku.


    “Te…terima kasih” kulihat wajahnya sedikit memerah saat menanggapi kata-kataku. Kami lalu terdiam dan tidak saling berbicara. Kesunyian itu pecah saat kuberanikan diriku bertanya padanya, “Apa tidak apa-apa kau masih berhubungan denganku walaupun kita menjadi jauh? Akan sulit sekali kita untuk bertemu, lebih sulit daripada sebelum ini, dan akan ada kemungkinan aku jatuh cinta pada gadis lain. Apa kamu tidak apa-apa dengan hal itu?”


    Dirinya terdiam dan ia tidak menjawab pertanyaanku dengan segera. Bisa kulihat dari raut wajahnya dirinya yang berpikir keras.


    “Senpai sendiri, apakah masih mau berhubungan denganku? Mungkin saja akan ada pria lain yang lebih keren daripada senpai yang bisa membuatku jatuh hati. Bagaimana?” tanpa kuduga ia membalikan pertanyaan itu padaku. Aku tertegun sebentar, namun segera kujawab pertanyaan itu dengan senyum.


    “Aku tidak pernah merasa masalah dengan jarak yang jauh ini. Karena…” Saat itu aku tidak bisa meneruskan kata-kataku karena aku sedikit malu mengatakannya.


    “Karena apa?” tanyanya menunggu kelanjutan kata-kataku.

Dengan muka merah kukumpulkan keberanianku dan kukatakan padanya kelanjutan dari kata-kataku itu, “Karena…kurasa aku mungkin tidak bisa apa-apa tanpamu.”


    Mendengar itu dirinya memeluk lenganku dengan erat dan kudengar dengan suara yang hampir menangis kata-kata darinya, “Terima kasih…aku percaya dengan senpai…”


    Kudekatkan kepalanya ke dadaku. Kucium rambutnya yang harum sebagai ungkapan terima kasih dariku. Dirinya mendorongku menjauh. Bisa kulihat bahwa ia sedikit malu dengan hal yang kulakukan, namun ia menyukainya dan itu bisa kulihat dari senyum kecil yang tergambar di wajahnya.


    Tubuhnya sedikit menggigil setelah lepas dari pelukanku. Memang seragam Jepang jaman sekarang bukanlah penangkal dingin yang pas untuk seorang anak gadis. Kulepaskan Brazer yang kupakai dan kututupi tubuhnya dengan itu.


    “Senpai! Tidak usah! Aku baik-baik saja! Senpai bisa kedinginan!” katanya sambil berusaha mengembalikan Brazer itu padaku.


    “Tidak apa-apa. Lagipula aku ada ini” jawabku sambil menunjuk ke mafura pemberiannya yang terlingkar di leherku. “Dengan ini pun bisa kurasakan udara dingin musim dingin menjadi hangat bagaikan musim semi”


    Dirinya tersipu malu mendengar kata-kataku. Dan kurasa aku terlalu berlebihan akan kata-kata yang kusampaikan.


    “Senpai keren ya?” katanya memuji diriku.


    “Ah, aku tidak sekeren itu kok” aku mencoba menepis pandangannya mengenai diriku karena aku tidak ingin besar kepala hanya karena kata-kata sederhana darinya.


    “Aku suka sekali dengan senpai. Bagiku senpai adalah orang yang sangat keren”


    “Sudah kubilang…aku ini bukan orang yang keren”


    “Misalkan aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku pada senpai, jika senpai yang mengatakannya, aku mungkin akan langsung menerimanya” kata-katanya langsung membuat telingaku merah. Yah memang seharusnya aku yang mengungkapkan perasaanku padanya. Ada sedikit perasaan suka dalam diriku padanya, namun diriku yang pesimis mengira bahwa menjalin hubungan dengannya adalah suatu yang mustahil.

Menyadari hal itu, suatu perasaan hangat yang tidak terbendung meluap dari dalam diriku, dan kupeluk dirinya sambil kuucapkan, “Terima kasih”


    Kereta yang kami tunggu pun akhirnya tiba dan kami menaikinya. Di stasiun kelima kami turun dari kereta. Di depan pintu stasiun aku berpamitan dengannya. “Yakin tidak mau kuantar sampai rumahmu?”


    “Tidak apa-apa. Lagipula, tidak terlalu jauh kok” jawabnya.


    “Baiklah. Hati-hati di jalan ya?” kataku padanya. Ia mengangguk dan berbalik melangkah pergi.


    “Yoshimi!” Dengan segera ia berbalik saat kupanggil dirinya. Langsung kutarik dirinya mendekat ke diriku dan kukecup kelopak matanya.


    “I'll keep you safe...always... ” kataku padanya saat ia menjauh dan kulihat senyum tergambar di wajahnya, lalu dengan tersipu malu ia berkata, “arigatou”.


    Ia kembali berbalik dan melangkah pergi. Aku berdiri sambil melihat dirinya menjauh. Ada sebuah perasaan yang mengatakan bahwa saat itu akan menjadi saat terakhir aku melihatnya pergi. Kapankah perpisahan kami akan datang aku sama sekali tidak tahu. Akan tetapi, jarak yang tidak bisa kami kalahkan ini, kuharapkan akan memacuku untuk selalu menjadi yang terpenting dalam dirinya. Kapankah hari di mana kami harus mengucapkan selamat tinggal itu akan datang? Tanpa tahu jawabannya, aku hanya bisa berharap takdir tidak akan segera membawanya. Karena setiap detik setiap nafas yang mengalir dalam diriku masih ingin menghitung saat – saat ini bersamanya.

~End~